Selasa, 13 Januari 2015

Perbedaan platform Partai Gerindra dan PDI-P

Bendera PDIP dan Gerindra


Berbeda dengan di Eropa, di Indonesia kita sangat sulit bagi untuk membedakan ideologi/platform antara parpol-parpol nasionalis secara pasti. Namun, saya menemukan sebuah artikel di website bapak Kwik Kian Gie, politisi senior PDIP yang tetap kader sampai sekarang. Sejak tahun 2009, ia mendukung Prabowo sebagai capres dan bersedia menjadi dewan penasihatnya bidang ekonomi.

Di tahun 2014, beliau tetap mendukung Prabowo dan menjadi koordinator survei tim pemenangan Prabowo-Hatta. Berbeda dengan Ahok, Kwik Kian Gie memiliki sifat "ceng li". Ia tidak keluar dari parpolnya meskipun sering tidak setuju sikap partai dan mengakui bahwa PDI-P adalah partai paling korup. Ia baru saja menghadiri HUT ke-42 PDIP beberapa hari lalu. Ibu Megawati memberi sambutan khusus untuknya.

Berikut perbedaan platform (ideologis) Partai Gerindra dan PDI-P menurut beliau :

1. Kebijakan utang luar negeri


Prabowo ingin “mengalihkan dana pembayaran utang luar negeri sebagai modal untuk membiayai program pendidikan, kesehatan, pangan dan energi yang murah serta ramah lingkungan.”

Kebijakan Presiden Megawati sangat dominan atau praktis sepenuhnya ditentukan oleh Menko Dorodjatun dan Menteri Keuangan Boediono. Kebijakan utang luar negerinya harus patuh pada negara-negara dan lembaga-lembaga keuangan internasional pemberi utang secara mutlak. Negara-negara ini menghendaki pembayaran yang tepat waktu dan sepenuhnya. Kalau mau menunda boleh, tetapi harus dalam program pengawasan yang ketat oleh IMF, yang cakupannya kebijakan dalam semua bidang penyelenggaraan negara.

2. Kebijakan tentang BUMN

Prabowo ingin “menjadikan BUMN sebagai lokomotif dan ujung tombak kebangkitan ekonomi.”

Presiden Megawati berkeyakinan bahwa BUMN mesti rusaknya, mesti korupnya, mesti meruginya, mesti merong-rong keuangan negara. Menterinya mengatakan : “Boleh pilih. Mempertahankan BUMN dan pemerintah keluar uang menutup kerugiannya yang sangat besar, ataukah menjual BUMN kepada swasta, terutama swasta asing, karena akan langsung memperoleh laba, sehingga Kas Negara kemasukan uang pajak.”

3. Kebijakan tentang aset negara

Prabowo ingin “menghentikan penjualan aset negara yang strategis dan atau yang menguasai hajat hidup orang banyak”.

Presiden Megawati menjual Indosat, tidak berani menolak Exxon Mobil yang ingin mengubah TAC blok Cepu menjadi kontrak bagi hasil sambil sekaligus memperpanjangnya sampai tahun 2030, padahal kontrak sudah habis di tahun 2010.

4. Kebijakan ekspor-impor

Prabowo ingin “mewajibkan eksportir nasional yang menikmati fasilitas kredit dari negara untuk menyimpan dana hasil ekspornya di bank dalam negeri.”

Presiden Megawati kokoh dalam pendiriannya dalam sistem lalu lintas devisa yang sebebas-bebasnya.

5. Kebijakan tentang kebutuhan rakyat

Prabowo ingin “mencetak 2 juta HA lahan baru untuk meningkatkan produksi beras, jagung, kedelai, tebu yang dapat mempekerjakan 12 juta orang”.

Kebijakan Presiden Megawati bersama Menko Perekonomian dan Menteri Keuangannya yalah bahwa itu urusan swasta murni. Pemerintah tidak boleh ikut-ikutan dalam produksi komoditi tersebut. Kalau swasta tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyat Indonesia, harus diimpor, karena harus ikut globalisasi yang menghapus batas-batas negara bangsa.


6. Kebijakan penyaluran kredit bank pemerintah

Prabowo ingin “melarang penyaluran kredit bank pemerintah untuk pembangunan perumahan dan apartemen mewah, mall, serta proyek-proyek mewah lainnya.”

Menteri Keuangannya Presiden Megawati tidak pernah berpikir demikian. Sebaliknya, bank-bank pemerintah harus berbadan hukum PT yang perilaku dan aturan mainannya sepenuhnya seperti bank swasta.

7. Kebijakan renegosiasi kontrak

Prabowo ingin “meninjau kembali semua kontrak pemerintah yang merugikan kepentingan nasional.” Semua kontrak pemerintah dengan perusahaan asing yang mengeduk sumber daya mineral kita merugikan bangsa Indonesia.

Kabinet Megawati tidak mau mengutik ini, karena mengguncangkan kepercayaan pihak asing pada sifat good boy-nya para menteri Presiden Megawati dalam hal patuh pada kontrak, yang sekali liberal tetap liberal.”

8. Kebijahan tentang pendidikan

Prabowo ingin “mencabut Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP)”

Fraksi PDI-P menyetujuinya, walaupun dengan syarat.




Beliau berhenti sampai disini karena terlampau banyak perbedaan antara platform Partai Gerindra dan PDI-P yang tidak muat untuk ditulis semua di websitenya. Saya juga pernah bertanya tentang perbedaan platform kedua parpol ini pada saat retret politik "Youth Movement" yang diselenggarakan gereja saya. Namun sayangnya sang pembicara tidak bersedia mengungkap karena bisa dianggap kampanye.

Terimakasih


Patric Ong
Kristen Indonesia Raya


Refrensi :
http://kwikkiangie.com/v1/2011/03/megawati-prabowo-dan-contoh-kasus-tentang-demokrasi-gaya-uud-2002/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar