Presiden Sukarno bersama Mao Zedong, Presiden RRC |
Dari dulu saya menganggap Presiden Pertama kita, Sukarno adalah seorang yang pluralis dan berpihak pada kaum minoritas tionghoa. Hal ini wajar karena pada era Orde Lama, hal-hal berbau tionghoa seperti koran mandarin, Imlek, nama tionghoa, dll tidak dilarang seperti pada era Orde Baru.
Selain itu, kata-kata Bung Karno yang kita hormati ini juga meyakinkan hal tersebut:
Buat apa saya mesti menuntut, orang peranakan Tionghoa yang mau menjadi anggota negara Republik Indonesia, mau menjadi orang Indonesia, mau ubah namanya, ini sudah bagus kok…Thiam Nio kok mesti dijadikan Sulastri atau Sukartini. Yah, tidak ?
Tidak ! Itu urusan prive. Agama pun prive, saya tidak campur-campur.Yang saya minta yaitu, supaya benar-benar kita menjadi orang Indonesia, benar-benar kita menjadi warganegara Republik Indonesia..”
Pidato itu sangat memukau, tapi bagaimana dengan hal lain selain nama ? Mungkin saya termasuk yang baru tau, tapi saya yakin banyak juga yang belum tau, ternyata era Orde Lama-nya Sukarno tidak lebih adil dalam memperlakukan kaum minoritas. Pemerintahan Presiden Soekarno pada era 1959-1960 adalah masa dimana etnis Tionghoa sungguh terdiskriminasi dalam wajah yang sangat rasialis.
Peraturan rasis
Pada 14 Mei 1959 pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 10/1959 yang berisi larangan untuk orang asing berusaha di bidang perdagangan eceran di tingkat kabupaten ke bahwa dan wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga negara Indonesia, dan mereka diharuskan menutup perdagangannya sampai batas 1 Januari 1960.
Pada praktiknya "orang asing" pada pasal ini terbatas hanya pada orang Tionghoa karena dari 86.690 pedagang kecil asing yang terdaftar, 90% nya beretnis Tionghoa.
Peraturan ini terutama ditujukan pada pedagang kecil Tionghoa yang merupakan bagian terbesar orang asing (non-pribumi) yang melakukan usaha ditingkat desa. Jadi, jangan dibayangkan korban dari aturan ini adalah cukong-cukong pemain monopoli yang bisnisnya merugikan orang lain.
Ketegangan dengan RRC
PP rasis ini menimbulkan ketegangan diplomatik antara Indonesia dan RRC. Dalam pertemuan antara Menlu Subandrio dengan Duta Besar Cina untuk Indonesia (Huang Chen) di Jakarta, pemerintah Peking mendesak peninjauan kembali PP No. 10 dan permintaan itu ditolak. Pemerintah Cina pun berang, pada tanggal 10 Desember 1959 radio Peking mengumumkan ajakan warga Cina perantauan untuk kembali ke "kehangatan Ibu Pertiwi". Kedubes RRT di Jakarta segera mendaftar Cina perantau yang tertarik oleh ajakan itu. Selama tahun 1960-1961 tercatat lebih dari 100.000 orang Tionghoa meninggalkan Indonesia.
Pengusiran sampai penembakan
Tercatatat bahwa di beberapa tempat penerapannya juga dipaksakan dengan kekuatan militer; tidak hanya tidak diperbolehkan berdagang, namun orang Tionghoa dilarang tinggal di tempat tersebut. Di Curut, Cibadak, dan Cimahi hal ini memakan korban. Di Cimahi, Jawa Barat, terjadi pengusiran orang Tionghoa dan tentara menembak mati dua perempuan Tionghoa
Ketidakadilan
Leo Suryadinata, pengajar di Universitas Nasional Singapura berpendapat bahwa baik peraturan benteng maupun PP 10 tahun 1959 adalah awal perlakuan anti-Tionghoa di Indonesia. Menurutnya pada zaman kolonial orang Cina umumnya hanya pedagang kecil, namun setelah Indonesia merdeka kedudukan bisnis mereka lebih kuat, karena itu pengusaha dan pedagang "pribumi" merasa tidak bisa bersaing dan ingin mengambil alih bisnis orang Tionghoa dengan kekuatan pemerintah. Aturan diskriminatif ini juga dilansir sebagai upaya melestarikan politik pecah belah.
Demikianlah tulisan saya berdasarkan berbagai sumber. Terimakasih
Salam Indonesia Raya
Patric Ong
Refrensi:
http://www.tionghoa.info/diskriminasi-etnis-tionghoa-di-indonesia-pada-masa-orde-lama-dan-orde-baru/
http://id.wikipedia.org/wiki/Peraturan_Presiden_Nomor_10_tahun_1959
yang dilakukan Soekarno gak ada salahnya karena duh tau gak sih perbatasan negara Indonesia itu dari mana sampek mana? -_- mana bisak kita ngatain orang yang berjuang untuk tanah air kita lu katain rasis? kenapa gak sekalian belanda sama jepang dibiarin aja di tanah ini??? gila kalik!!!
BalasHapus