Senin, 04 Juli 2016

Akhir kisah para opportunis

Opportunis adalah orang-orang yang memanfaatkan kesempatan menguntungkan dengan sebaik-baiknya, demi diri sendiri, kelompok, atau suatu tujuan tertentu tanpa memperdulikan prinsip-prinsip dan konsekuensi nya. Di Indonesia, opportunisme sudah menjadi penyakit hebat yang mewabah mulai dari aparat terendah sampai para tokoh negara seperti sesorang yang mengaku bapak Reformasi dan seorang kepala negara hasil pilpres curang.  Mungkin dalam jangka pendek, orang-orang opportunis terlihat hebat karena cerdik melihat situasi dan kondisi, namun sejarah mendikte bahwa akhir kisah para opportunis malah banyak yang berakhir menyedihkan. 

Revolusi Prancis 


Melihat gambar diatas yang merupakan semboyan Republik Prancis yaitu Liberte, Fraternite, Egalite. Banyakkah orang tau siapa pembuat semboyan tersebut ?  Yang membuat semboyan tersebut adalah Antoine-Francois Momoro, seorang pebisnis percetakan yang mencari untung dari Revolusi Prancis di 1789 untuk media penggiringan opini publik yang menghasut warga Paris untuk membenci kerajaan dan agama Katholik. Ialah yang berjuang demi Revolusi, pendukung utama dekristenisasi Prancis dan penghapusan kerajaan. Namun ia sendiri mati dipenggal oleh pemerintahan Revolusi yang diperjuangkannya. 

Begitu pula dengan Philippe Egalite, Duke of Orleans, sepupu raja Louis XVI. Ia menjadikan istana nya markas aktivitas revolusi dan emas nya untuk membiayai kerusuhan-kerusuhan di Paris seperti penyerangan Bastille. Ialah yang menyembunyikan gandum dari rakyat Paris sehingga membuat rakyat lapar dan menyebabkan "March on Versailles". Pada saat March on Versailles, ia berbohong dengan mengaku berada di Paris padahal banyak saksi melihatnya memimpin gerombolan haus darah yang berteriak "Hidup raja Orleans ! " menuju Kamar Tidur Ratu yang dilindungi Garda Swiss. Ia pun memberikan suara ya untuk eksekusi Raja Louis XVI di guillotine. Orang-orang Paris melihatnya sebagai cara Phillipe Egalite menjadi raja menggantikan Louis XVI.  Di tahun yang sama, ia segera di guillotine oleh pemerintahan  Revolusi sebagai anggota keluarga kerajaan.

Revolusi Prancis yang mengakhiri dominasi Prancis di Eropa dan dunia barat menelan banyak nyawa orang-orang baik dan innocent, namun juga para opportunis dan revolusioner sendiri. Para penggerak Revolusi Prancis, baik kaum Moderat maupun Radikal, mereka semua berakhir sebagai tumbal dari Revolusi itu sendiri, dibunuh dengan cepat dengan Guillotine. 10 tahun setelah Revolusi Prancis, kudeta Jendral Bonaparte menyelamatkan Prancis, mengembalikan sistem monarki (bertahan sampai 1870) dan agama Katholik sebagai agama resmi Prancis (bertahan sampai 1905).


Jendral Yuan Shikai dan Jendral Chiang Khaisek

Semangat opportunis dalam revolusi dan perang juga tejadi di China. Saat Kaisar Guangxu ingin melakukan reformasi untuk memperkuat kekaisaran, Jendral Yuan Shikai yang opportunis menggagalkannya. Karena reformasi gagal, gerakan-gerakan republikan pun mulai  mendapat simpati rakyat. Jendral Yuan sebagai Perdana Menteri dan panglima tertinggi angkatan perang kekaisaran malah membiarkan para revolusioner meraih berbagai kemenangan. Sebenarnya dana militer 3 bulan cukup untuk menghabisi semua kekuatan tentara Revolusi. Namun dana militer tersebut malah ditahan oleh Yuan Shikai. Kemudian ia malah berkompromi dengan Republik dengan syarat ia menjadi Presiden apabila berhasil menurunkan Kaisar Xuantong dari tahta. Tak lama setelah menjadi Presiden, ia melantik diri sebagai Kaisar. Namun ini berakhir singkat, tak lama kemudian ia meninggal sebelum mewujudkan rencananya menjadi Kaisar yang diakui rakyat. 

Begitu pula dengan Chiang Khaisek, saat Jepang menyerang, ia bukannya melindungi rakyat dan melawan Jepang, namun malah fokus memerangi CPC (Comunist Party of China). Saat Jepang menduduki pantai timur China dan ibukota Nanjing, Chiang yang memiliki 1 juta pasukan bukannya menghadapi  Tentara Jepang yang berjumlah ratusan ribu tetapi malah kabur membawa seluruh tentara nya ke Chongqing, meninggalkan rakyatnya di ibukota dibantai Jepang. Saat setelah berkuasa pun, awalnya ia mencari bantuan dari kaum Komunis, pedagang dan kapitalis, namun setelah tak membutuhkannya, tanpa alasan yang justified, ia membantai mereka semua. Chiang akhir nya melarikan diri dan mendirikan negara Taiwan di pulau Formosa. Ia meninggal dalam keadaan khawatir takut makam leluhurnya di China di serang oleh CPC. 

Antara Amien Rais, Jokowi, Ahok, dan Wiranto

Bagaimana dengan akhir kisah para opportunis di Indonesia ? 

Amien Rais yang pada tahun 1998 tiba-tiba mengaku sebagai bapak reformasi, setelah reformasi ia menaikkan Gus Dur untuk menghambat Megawati, kemudian melengserkan Gus Dur untuk menaikkan Megawati. Namun kemudian ia gagal nyapres dengan suara hanya kurang dari 4%, kemudian sekarang partai nya pun tersalip perolehan suaranya dari partai-partai yang lebih muda. Bahkan dimasa tua nya, ia rela bergabung dengan pemerintahan Jokowi yang dianggap nya didukung kekuatan setan, untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia (dengan bahasanya "agar langit tidak jatuh). Namun sampai sekarang ekonomi Indonesia belum selamat dan partai nya yang ingin kursi menteri belum juga mendapatkannya.  

Tindakan Wiranto meninggalkan ibukota disaat mengetahui akan ada kerusuhan, menurut saya bisa disamakan dengan aksi Chiang Kaishek. Selain itu ia juga bertingkah layaknya kutu loncat dengan pindah-pindah rezim dan menjelek-jelekkan pak Harto padahal dia jadi Jendral disana. Akhirnya sekarang ia hanya menjadi pimpinan parpol yang selamat dari menjadi partai gurem karena bantuan Harry Tanusoedibjo yang sekarang pun sudah meninggalkan Hanura. Di pemerintahan Jokowi pun ia tak mendapatkan jabatan apa-apa, padahal sudah berjasa menjelek-jelekkan dan memfitnah bapak Prabowo soal HAM dengan berkeringat dingin saat berbicara. 

Ahok yang sudah total dibantu nyagub, tanpa mahar politik, bahkan biaya politiknya dibiayai oleh partai, namun sebelum bisa membalas budi dengan memenangkan Partai Gerindra di kampung halaman, provinsi, bahkan di rumahnya sendiri, namun ia bisa tanpa berpamitan keluar dari Partai Gerindra. Sekarang ia terkatung-katung antara nyagub lewat independen yang relawannya tak berani verifikasi faktual atau lewat parpol yang selama ini dianggap antitesa dari Ahok. 


Yang paling hebat adalah tindakan Jokowi mengkhianati Prabowo, Tuhan, pemilihnya di Jakarta, bahkan mengkhianati rakyat dan relawannya sendiri, dengan berbagai janji dan komitmennya nya. Apakah sebenarnya Jokowi sama dengan Phillipe Egalite yang mengkhianati siapapun demi meraih kekuasaan ? Semoga kita bisa menyaksikan bagaimana nasib para pemimpin yang opportunis di Indonesia, dan sejarah bisa mencatatnya dengan adil. Selain itu, yang terpenting, jangan sampai ulah para opportunis membawa negara kita kepada keterpurukan seperti yang dialami Prancis karena Revolusi Prancis.


Salam Indonesia Raya,


Patrick Ong